Thursday, 3 November 2011

vaksin_dari bahan najis

http://indonesian.iloveallaah.com/hukum-vaksinasi-dari-enzim-babi/

Hukum Vaksinasi Dari Enzim Babi

Bismillah … Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Sebagian vaksinasi atau imunisasi (seperti imunisasi polio) diduga berasal dari enzim babi. Babi jelas najis dan termasuk hewan yang haram dikonsumsi. Taruhlah jika pernyataan atau isu ini benar, lalu bagaimana hukum fikih dalam masalah ini? Karena masalah ini menjadi polemik hingga saat ini. Sampai-sampai sebagian orang enggan bahkan menyalah-nyalahkan orang yang mengambil keputusan untuk ikut imunisasi.
Baiklah ada dua kaedah terlebih dahulu yang akan kami utarakan. Lalu kami tutup dengan fatwa dari Majelis Ulama Eropa akan hal ini. Allahumma yassir wa a'in …
Memahami kaedah pertama: Istihalah
Istihalah secara bahasa memiliki dua makna. Salah satu maknanya adalah,

تغيّر الشّيء عن طبعه ووصفه

“Berubahnya sesuatu dari tabi’at asal atau sifatnya yang awal.”
Yang termasuk dalam istihalah adalah berubahnya sesuatu yang najis. Istihalah atau perubahan tadi bisa terjadi pada kondisi apa saja? Istihalah bisa terjadi pada ‘ain (zat) najis, seperti kotoran, khomr (bagi yang mengatakannya najis), dan babi. Istihalah bisa terjadi pula pada ‘ain (zat) najis yang berubah sifat-sifatnya. Bisa jadi dia berubah karena dibakar atau karena berubah menjadi cuka. Atau mungkin perubahan itu terjadi karena ada sesuatu yang suci yang bercampur dengannya. Seperti contohnya babi yang najis yang jatuh dalam garam, akhirnya menjadi garam.
Para ulama telah menyepakati bahwa apabila khomr berubah menjadi cuka dengan sendirinya (karena dibiarkan begitu saja), maka khomr tersebut menjadi suci. Namun para ulama berselisih jika khomr tadi berubah menjadi cuka melalui suatu proses tertentu.
Adapun untuk najis yang lainnya, apabila ia berubah dari bentuk asalnya, maka para ulama berselisih akan sucinya.[1]
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah, juga menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad, menyatakan bahwa najis pada ‘ain (dzat) dapat suci dengan istihalah. Jika najis sudah menjadi abu, maka tidak dikatakan najis lagi. Garam (yang sudah berubah) tidak dikatakan najis lagi walaupun sebelumnya berasal dari keledai, babi atau selainnya yang najis. Begitu pula dianggap suci jika najis jatuh ke sumur dan berubah jadi tanah. Misal yang lain, khomr ketika berubah menjadi cuka baik dengan sendirinya atau dengan proses tertentu dari manusia atau cara lainnya, maka itu juga dikatakan suci. Hal ini semua dikarenakan zat yang tadi ada sudah berubah. Aturan Islam pun menetapkan bahwa sifat najis jika telah hilang, maka sudah dikatakan tidak najis lagi (sudah suci).
Jadi jika tulang dan daging berubah menjadi garam, maka yang dihukumi sekarang adalah garamnya. Garam tentu saja berbeda statusnya dengan tulang dan daging tadi.
Perkara semisal ini amatlah banyak. Intinya, istihalah pada zat terjadi jika sifat-sifat najis yang ada itu hilang.
Adapun ulama Syafi’iyah dan pendapat ulama Hambali yang lebih kuat, najis ‘ain (zat) tidaklah dapat suci dengan cara istihalah. Jika anjing atau selainnya dilempar dalam garam, akhirnya mati dan jadi garam, maka tetap dihukumi najis. Begitu pula jika ada uap yang berasal dari api yang bahannya najis, lalu uap itu mengembun, maka tetap dihukumi najis.
Dikecualikan dalam masalah ini adalah untuk khomr, yaitu khomr yang berubah menjadi cuka dengan sendirinya, tidak ada campur tangan. Cuka yang berasal dari khomr seperti itu dianggap suci. Alasan najisnya khomr tadi adalah karena memabukkan. Saat jadi cuka tentu tidak memabukkan lagi, maka dari itu dihukumi suci. Hal ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan para ulama).
Adapun jika khomr berubah menjadi cuka dengan proses tertentu misalnya ada gas yg masuk, maka ketika itu tidaklah suci.[2]
Dari perselisihan di atas, pendapat yang rojih (kuat) dalam masalah ini adalah yang menyatakan bahwa suatu zat yang najis yang berubah (dengan istihalah) menjadi zat lain yang baru, dihukumi suci.
Di antara alasannya adalah karena hukum itu berputar pada ‘illah-nya (alasan atau sebab). Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu ada. Jika sifat-sifat najis telah hilang, maka hukum najis itu sudah tidak ada. Demikianlah yang dijelaskan dalam kaedah ushuliyah,

الحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ ثُبُوْتًا وَعَدَمًا.

Hukum itu berputar pada ‘illahnya. Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu ada. Begitu sebaliknya jika ‘illah itu tidak ada, maka hukum itu tidak ada.
Pendapat inilah yang lebih tepat, apalagi diterapkan di zaman saat ini. Kita masih ingat bahwa minyak bumi itu asalnya dari bangkai hewan yang terpendam ribuan tahun. Padahal bangkai itu jelas najis. Jika kita katakan minyak bumi, itu najis karena berpegang pada pendapat Syafi’iyah dan Hambali, maka jadi problema untuk saat ini.
Jika seseorang memahami kaedah istihalah ini, ia akan tahu bagaimanakah menghukumi suatu najis apabila najis tersebut sudah berubah menjadi benda lain yang tidak nampak lagi atsar-atsarnya (bekas-bekasnya). Kaedah ini berlaku pula dalam masalah vaksinasi dari enzim babi.
Memahami kaedah kedua: Istihlak
Yang dimaksud dengan istihlak adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan halal yang jumlahnya lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharaman benda yang sebelumnya najis, baik rasa, warna dan baunya.
Apakah benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut menjadi suci? Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci.
Alasannya adalah dua dalil berikut.
Hadits pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

Air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya."[3]
Hadits kedua, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ

Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis)."[4]
Dua hadits di atas menjelaskan bahwa apabila benda yang najis atau haram bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakan warna atau baunya, maka dia menjadi suci.
Jadi suatu saat air yang najis, bisa berubah menjadi suci jika bercampur dengan air suci yang banyak. Tidak mungkin air yang najis selamanya berada dalam keadaan najis tanpa perubahan. Tepatlah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
“Siapa saja yang mau merenungkan dalil-dalil yang telah disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa pendapat inilah yang lebih tepat. Sangat tidak mungkin ada air atau benda cair yang tidak mungkin mengalami perubahan menjadi suci (tetap najis). Ini sungguh bertentangan dengan dalil dan akal sehat. Jika ada yang menganggap bahwa hukum najis itu tetap ada padahal (sifat-sifat) najis telah dihilangkan dengan cairan atau yang lainnya, maka ini sungguh jauh dari tuntutan dalil dan bertentangan dengan qiyas yang bisa digunakan."[5]
Catatan:
Kaedah di atas jadi tidak berlaku, jika berdasarkan pernyataan para pakar yang ada bahwa enzim tripsin pada imunisasi atau vaksinasi hanya berupa katalisator. Katalisator atau enzim hanyalah menjadi pemicu reaksi, dan bukan menjadi bagian dari vaksin. Sehingga jika berasal dari babi sekali pun, campuran tersebut sudah hilang. Coba pahami baik-baik maksud katalisator. Banyak penjelasan dari berbagai pihak, salah satunya dari Drs. Iskandar, Apt., MM, -Direktur Perencanaan dan pengembangan PT. Bio Farma (salah satu perusahaan pembuat vaksin di Indonesia)- yang mengatakan bahwa enzim tripsin babi masih digunakan dalam pembuatan vaksin, khususnya vaksin polio (IPV). Beliau mengatakan,
“Air PAM dibuat dari air sungai yang mengandung berbagai macam kotoran dan najis, namun menjadi bersih dan halal stetalh diproses”. Beliau juga mengatakan, “Dalam proses pembuatan vaksin, enzim tripsin babi hanya dipakai sebagai enzim proteolitik [enzim yang digunakan sebagai katalisator pemisah sel/protein]. Pada hasil akhirnya [vaksin], enzim tripsin yang merupakan unsur turunan dari pankreas babi ini tidak terdeteksi lagi. Enzim ini akan mengalami proses pencucian, pemurnian dan penyaringan.” [sumber: http://www.scribd.com/doc/62963410/WHO-Batasi-Penggunaan-Babi-Untuk-Pembuatan-Vaksin]
Jika ini benar, maka tidak bisa kita katakan bahwa vaksin ini haram, karena minimal  bisa kita kiaskan dengan binatang jallalah, yaitu binatang yang biasa memakan barang-barang najis. Binatang ini bercampur dengan najis yang haram dimakan, sehingga perlu dikarantina kemudian diberi makanan yang suci dalam beberapa hari agar halal dikonsumsi. Sebagian ulama berpendapat minimal tiga hari dan ada juga yang berpendapat sampai aroma, rasa dan warna najisnya hilang.
Imam Abdurrazaq As-Shan’ani rahimahullah meriwayatkan,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَحْبِسُ الدَّجَاجَةَ ثَلَاثَةً إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ بَيْضَهَا

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma  bahwasanya beliau mengurung [mengkarantina] ayam yang biasa makan barang najis selama tiga hari jika beliau ingin memakan telurnya.” [Mushannaf Abdurrazaq no. 8717]
Kalau saja binatang yang jelas-jelas bersatu langsung dengan najis -karena makanannya kelak akan menjadi darah dan daging- saja bisa dimakan, maka jika hanya sebagai katalisator sebagaimana penjelasan di atas serta tidak dimakan, lebih layak lagi untuk dipergunakan atau minimal sama. [Dinukil dari http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/pro-kontra-hukum-imunisasi-dan-vaksinasi.html]
Fatwa Majelis Ulama Eropa
Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian telah memberikan jawaban untuk masalah vaksin yang digunakan dalam vaksinasi anak terhadap polio. Vaksin ini menggunakan enzim yang disebut tripsin dan diambil dari babi. Jumlah tripsin yang ditambahkan konsentrasinya sangat rendah. Tripsin ini nantinya akan hilang, tidak tersisa lagi. Kemudian tumbuh virus polio untuk bereproduksi dan akhirnya jadilah vaksin yang diberikan tiga tetes untuk setiap anak dalam mulut. Karena alasan inilah sebagian orang apalagi di Asia Timur karena dalam rangka hati-hati, mereka melarang mengonsumsi vaksin semacam ini untuk anak-anak muslim karena tripsin itu berasal dari babi.
Dalam masalah di atas, Majelis Ulama Eropa memutuskan dua hal:
Pertama:
Penggunaan obat semacam itu ada manfaatnya dari segi medis.  Obat semacam itu dapat melindungi anak dan mencegah mereka dari kelumpuhan dengan izin Allah. Dan obat semacam ini (dari enzim babi) belum ada gantinya hingga saat ini. Dengan menimbang hal ini, maka penggunaan obat semacam itu dalam rangka berobat dan pencegahan dibolehkan. Hal ini dengan alasan karena mencegah bahaya (penyakit) yang lebih parah jika tidak mengkonsumsinya. Dalam bab fikih, masalah ini ada sisi kelonggaran yaitu tidak mengapa menggunakan yang najis (jika memang cairan tersebut dinilai najis). Namun sebenarnya cairan najis tersebut telah mengalami istihlak (melebur) karena bercampur dengan zat suci yang berjumlah banyak. Begitu pula masalah ini masuk dalam hal darurat dan begitu primer yang dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya. Dan di antara tujuan syari'at adalah menggapai maslahat dan manfaat serta menghilangkan mafsadat dan bahaya.
Kedua:
Majelis merekomendasikan pada para imam dan pejabat yang berwenang hendaklah posisi mereka tidak bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini yang nampak ada maslahat bagi anak-anak kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan dalil yang definitif (qoth'i).[6]
Di Antara Alasan  Pro Vaksinasi
  1. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Karena telah banyak kasus ibu hamil membawa virus Toksoplasma, Rubella, Hepatitis B yang membahayakan ibu dan janin. Bahkan bisa menyebabkan bayi baru lahir langsung meninggal. Dan bisa dicegah dengan vaksin.
  2. Vaksinasi penting dilakukan untuk mencegah penyakit infeksi berkembang menjadi wabah seperti kolera, difteri, dan polio. Apalagi saat ini berkembang virus flu burung yg telah mewabah. Hal ini menimbulkam keresahan bagi petugas kesahatan yang menangani. Jika tidak ada, mereka tidak akan mau dekat-dekat. Juga meresahkan masyarakat sekitar.
  3. Walaupun kekebalan tubuh sudah ada, akan tetapi kita hidup di negara berkembang yang notabene standar kesehatan lingkungan masih rendah. Apalagi pola hidup di zaman modern. Belum lagi kita tidak bisa menjaga gaya hidup sehat. Maka untuk antisipasi terpapar penyakit infeksi, perlu dilakukan vaksinasi.
  4. Efek samping yang membahayakan bisa kita minimalisasi dengan tanggap terhadap kondisi ketika hendak imunisasi dan lebih banyak cari tahu jenis-jenis merk vaksin serta jadwal yang benar sesuai kondisi setiap orang.
  5. Jangan hanya percaya isu-isu tidak jelas dan tidak ilmiah. Contohnya vaksinasi MMR menyebabkan autis. Padahal hasil penelitian lain yang lebih tersistem dan dengan metodologi yang benar, kasus autis itu ternyata banyak penyebabnya. Penyebab autis itu multifaktor (banyak faktor yang berpengaruh) dan penyebab utamanya masih harus diteliti.
  6. Jika ini memang konspirasi atau akal-akalan negara barat, mereka pun terjadi pro-kontra juga. Terutama vaksin MMR. Disana juga sempat ribut dan akhirnya diberi kebebasan memilih. Sampai sekarang negara barat juga tetap memberlakukan vaksin sesuai dengan kondisi lingkungan dan masyarakatnya.
  7. Mengapa beberapa negara barat ada yang tidak lagi menggunakan vaksinasi tertentu atau tidak sama sekali? Karena standar kesehatan mereka sudah lebih tinggi, lingkungan bersih, epidemik (wabah) penyakit infeksi sudah diberantas, kesadaran dan pendidikan hidup sehatnya tinggi. Mereka sudah mengkonsumsi sayuran organik. Bandingkan dengan negara berkembang. Sayuran dan buah penuh dengan pestisida jika tidak bersih dicuci. Makanan dengan zat pengawet, pewarna, pemanis buatan, mie instant, dan lain-lain. Dan perlu diketahui jika kita mau masuk ke beberapa negara maju, kita wajib divaksin dengan vaksin jenis tertentu. Karena mereka juga tidak ingin mendapatkan kiriman penyakit dari negara kita.
  8. Ada beberapa fatwa halal dan bolehnya imunisasi. Ada juga sanggahan bahwa vaksin halal karena hanya sekedar katalisator dan tidak menjadi bagian vaksin. Contohnya Fatwa MUI yang menyatakan halal. Dan jika memang benar haram, maka tetap diperbolehkan karena mengingat keadaan darurat, daripada penyakit infeksi mewabah di negara kita. Harus segera dicegah karena sudah banyak yang terjangkit polio, Hepatitis B, dan TBC.[7]
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, index “استحالة”, 3/213-214, terbitan Kementrian Agama dan Urusan Islamiyah Kuwait.
[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, index “تحوّل”, 10/278-279
[3]
HR. Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa’i, dan Ahmad. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 478

[4] HR. Ad Daruquthni. Para ulama berselisih mengenai keshahihan hadits air dua qullah. Sebagian ulama menilai bahwa hadits tersebut mudhthorib (termasuk dalam golongan hadits dho’if/lemah) baik secara sanad maupun matan (isi hadits). Namun ulama hadits abad ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini shahih. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ad Darimi, Ath Thohawiy, Ad Daruquthniy, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisiy dengan sanad yang shohih. Hadits ini juga telah dishohihkan oleh Ath Thohawiy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, Adz Dzahabiy, An Nawawiy dan Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mayoritas pakar hadits menyatakan bahwa hadits ini hasan dan berhujah dengan hadits ini. Mereka telah memberikan sanggahan kepada orang yang mencela (melemahkan) hadits ini.” (Disarikan dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Bassam, 1/116, cetakan pertama, 1425 H)
[5] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 21/508
[6] Disarikan dari http://www.islamfeqh.com/Forums.aspx?g=posts&t=203
[7]
Info dari saudara kami, dr. Raehanul Bahraen, semoga Allah membalas amalan baik beliau.

Sumber : rumaysho.com

No comments:

Post a Comment